*Potret Kesedihan Korban Kebakaran Pasar Inpres (1)
Berharap Ada Bantuan dan Perhatian Pemkot
Kebakaran hebat yang melanda pasar Inpres Lubuklinggau, Kamis (23/10) dinihari sekitar pukul 01.15 WIB masih menyisa kesedihan mendalam bagi para korban. Seperti diungkapkan H Syamsuar (70) pedagang pakaian jadi dan Nurma (65) pedagang pecah belah.
Oleh : Aprizal Jaya
Saat wartawan koran ini mendatangi lokasi kebakaran yang sudah di pagari garis polisi ( police line), terlihat jelas pemandangan menyedihkan, dimana para pemilik kios yang menjadi korban kebakaran tampak membersihkan puing-puing kiosnya yang telah menjadi arang dan abu.
Hingga kini pihak PBK Kota Lubuklinggau dan Polres lubuklinggau masih melakukan penyelidikan mengenai sumber api atas musibah kebakaran tersebut.
Selain itu, tampak pula para Pedagang pakaian membuang sisa-sisa pakaian maupun barang dagangan mereka yang hangus. Begitu juga pedagang pecah belah serta pedagang manisan baik yang menempati kios permanen maupun kios kaki lima yang bahan bangunannya dari kayu.
Mereka terutama pedagang wanita dengan wajah penuh kesedihan sesekali mengucurkan air mata melihat kondisi tempat usahanya yang merupakan sumber nafkah keluarga hangus rata dengan tanah. Puluhan pedagang hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesabaran dalam menghadapi musibah yang sedang terjadi.
“Saya tidak pernah menyangka kalau kios dagangan pecah belah saya yang sudah saya tempati selama puluhan tahun, sekaligus tempat saya mencari nafkah harus musnah dalam sekejap tanpa sisa,” keluh Nurma yang mempunyai 11 anak itu dengan wajah pilu sembari bercucuran air mata.
Nurma dan suaminya Roslan (80) yang menempati kios di kaki lima sejak tahun 1995, saat ditemui koran ini sedang membereskan sisa-sisa puing barang pecah belah dagangannya.
Kios kayu miliknya berada tepat dibawah jembatan penghubung gedung bangunan pasar bagian depan dan belakang. Menurut perkiraannya total kerugian yang dideritanya mencapai Rp 15 juta lebih karena seluruh barang dagangannya tidak dapat diselamatkan.
Saat menerima kabar bahwa pasar Inpres terbakar, dirinya langsung berangkat dari rumah menuju pasar dengan maksud untuk menyelamatkan barang dagangannya. Tapi nahas, api sudah membumbung tinggi dan melahap kios permanen maupun kios miliknya dengan lidah api yang sudah bercabang-cabang hingga 4 titik api. “Kami juga heran, padahal ada empat orang penjaga malam yang setiap hari kami bayar Rp 2000 tapi mengapa masih terjadi musibah,” ucapnya lirih.
Demikian pula anak bungsunya (Sarnadi-red), setelah mendapat informasi adanya kebakaran di pasar Inpres, segera ke lokasi dan berusaha untuk menyelamatkan barang dagangan saya namun sia-sia karena api sudah membesar dan menjalar melahap kios-kios pedagang, sehingga dia tidak dapat mendekat dan menyelamatkan barang-barang.
Masih kata Nurma, saat ini dia dan keluarga hanya bisa pasrah atas musibah yang menimpa mereka. Padahal keluarganya baru saja mengalami musibah kebakaran, yakni rumah anak menantunya yang terjadi 40 hari lalu. “Sekarang menantu saya masih menjalani perawatan akibat luka bakar. Begitupun anak saya juga mengalami luka bakar di kaki,” tuturnya.
Nurma sangat berharap adanya bantuan dari Pemkot Lubuklinggau maupun pihak lain sehingga mereka bisa membuka usaha kembali untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Sementara itu, H Syamsuar (70) yang sudah menempati kios di pasar Inpres sejak tahun 1993 lalu dan berdagang pakaian jadi saat ditemui Linggau Pos, sedang membereskan barang dagangannya yang mayoritas baju dan celana jadi. Sambil bercerita ia terus membereskan puing-puing abu dari kiosnya. Wajahnya sedih dan tak bersemangat karena dalam sekejap, tempatnya mencari nafkah musnah dilalap si jago merah yang tak kenal kompromi.
“Saya sudah berpuluh-puluh tahun berjualan di kios ini, saya sehari-hari berjualan pakaian jadi pria dan wanita. Dari kios inilah saya membiayai kehidupan keluarga dan menyekolahkan anak-anak. Sekarang tinggal kenangan saja. Total kerugian saya mencapai Rp 30 juta lebih,” keluhnya menyesal karena tidak mengasuransikan kiosnya.
Hanya saja dia masih beruntung karena anak-anaknya sudah dewasa dan menikah. Namun tetap saja sedih memikirkan nasibnya. Syamsuar pun sangat membutuhkan bantuan dan perhatian pemerintah sehingga bisa dijadikan modal untuk membuka usaha baru.(*)
Kamis, 23 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar